80 tahun sudah Sumpah Pemuda berkumandang di sanubari setiap anak negeri. Kalimat sakral itu memberikan semangat yang mendalam di dada para pemuda Indonesia akan persatuan dan kesatuan demi mewujudkan kebebasan di ibu pertiwi. Sehingga setiap jejak sejarah selalu melibatkan para pemuda. Setiap pergantian jaman selalu pemuda yang berada di garda paling depan dalam mengawal transisi perubahan yang lebih baik. Darah pemuda selalu mengalir pertama kali, menghadang setiap kesewenang-wenangan di negeri ini.
Kita ingat awal mula kalimat ini dipekikkan diantara hunusan bayonet prajurit penjajah di tahun 1928. Momentum inilah yang memberikan angin segar di tahun 1945, sehingga kita bisa menikmati kemerdekaan yang telah lama kita idamkan. 1966, kegelisahan para pemuda kembali muncul, melihat congkaknya rezim orde lama yang lupa dengan komitmen awalnya dalam menciptakan kesejahteraan rakyat. Kembali darah pemuda tersembur, menjawab tirani penguasa. Tidak sampai disini, Orde baru yang menggantikan orde lama ternyata sangat berbau kapitalis. Tahun 1974 para pemuda kembali berontak, melawan kapitalisasi di negeri ini. Tetapi oleh penguasa dijawab dengan tindakan represif. Para pemuda diciduk, diculik, dihantam dan dipenjara tanpa diadili. Banyak aktivis yang hilang pada masa itu. Dituduh antek-antek komunis, yang kemudian dianggap halal darahnya.
Puncaknya di tahun 1998, ribuan pemuda yang sudah sangat bosan dengan kebusukan rezim orde baru mendatangi rumahnya sendiri yang menjadi tempat perwakilannya dalam menyuarakan “aspirasi” rakyatnya. Tetapi lagi-lagi mereka dihadang, tidak dengan senjata laras panjang sekarang, tetapi dengan mocong tank dan jeruji kawat besi. Model pemberangusan penguasa ala orde baru kembali di lakukan. Penculikan, penganiayaan, pembakaran, dan penembakan menjadi berita yang setiap hari muncul di layar kaca. Tetapi semua itu dibayar dengan tumbangnya orde baru. Pekikan kemenangan bertalu-talu di seluruh negeri. Hawa kebebasan kembali berhembus di awang-awang nusantara.
Meski kebebasan kini sudah kita raih, tetapi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan penguasa terdahulu tidak serta merta dengan mudah terungkap. Aktivis-aktivis tetap menghilang tanpa jejak. Sisa-sisa rezim ternyata masih bercokol kuat di negeri ini, sehingga tidak ada yang berani mengungkap siapa pelaku sebenarnya.
Akhirnya, kebebasan yang kita nikmati kini merupakan investasi dari ribuan darah pemuda Indonesia, yang dengan gigih memperjuangkan kebebasan di negeri ini. Apakah kita akan tetap berdiam diri ketika kembali melihat kesewenang-wenangan di tanah air ini? Jika ya, berarti kita sudah menyia-nyiakan ribuan darah para pendahulu kita.
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversi dan menggangu keamanan
Maka hanya satu kata : lawan ! (Peringatan, Wiji Thukul)